Trio Minang penakluk Pasar Senen (1930-an)
Seorang bujang Minang tamatan kelas
2 sekolah rakyat pergi merantau ke Betawi di tahun 1921. Namanya Djohan
yang kemungkinan berasal dari Sawahlunto. Waktu itu saudagar-saudagar
bumiputra di Padang sudah mulai sering berbelanja ke Betawi. Sudah sejak
dekade sebelumnya jalur pelayaran Padang - Batavia semakin lancar, yang
dilayani oleh perusahaan kapal pemerintah (misalnya, tahun 1927 kapal
api Ophir melayani rute Betawi - Padang secara rutin yang dapat ditempuh dalam satu setengah hari; lih: Pandji Pestaka,
No. 61, Th. V, 2 Augustus 1927: 1048 [Kroniek]). Djohan nekat pergi ke
ibukota Hindia Belanda itu membawa tulang delapan kerat. Niatnya hendak
bekerja jadi pegawai negeri atau swasta. Akan tetapi sesampai di Betawi
ia melihat dunia perdagangan yang ramai.
Maka Djohan pun bertukar pikiran. Menjadi pegawai hanya tamat kelas 2 sekolah rendah tak akan dapat mengubah nasib, pikiranya. Kini
ia ingin jadi pedagang. Tapi apa daya modal tak ada. Djohan pun memutar
otak. Didekatinya seorang pedagang Arab, lalu dimintanya beberapa helai
barang dagangannya, kemudian dikembangnya lapak di tepi jalan.
Begitulah Djohan memulai usaha dagangnya secara kecil-kecilan. Lama-lama
anak muda yang hemat dan berkemauan keras itu dapat menyimpan uang
sedikit demi sedikit. Akhirnya ia berhasil mengumpulkan modal sendiri,
lalu ia melepaskan diri dari induk semang Arabnya. Kini Djohan membeli
sendiri barang-barang dagangannya secara kontan. Dengan demikian
harganya jadi lebih murah, dan dengan demikian ia pun dapat menjual
dagangannya dengan harga yang lebih murah pula.
Lama-kelamaan Djohan berhasil menyewa sebuah
toko di Pasar Senen. Akan tetapi keberhasilan yang sudah diraihnya tidak
menjadikan ia cepat puas. Dengan uang tabungannya, kemudian ia berhasil
membeli toko itu. Kini ia sudah memiliki toko sendiri. Dagangannya pun
makin laris manis. Itu tak lain karena layanannya yang ramah tamah
kepada para pembeli. Lama kelamaan tokonya bertambah luas, hingga
mencapai enam pintu (meminjam istilah pedagang Minang di Tanah Abang
sekarang).
Djohan kini sudah jadi pedagang kaya. Maka
disuruhnya saudaranya, Djohor namanya, menyusulnya ke Betawi. Waktu itu
Djohor masih bersekolah di Sawahlunto. Djohor pun datang ke Betawi
membantu Djohan. Maka tokonya yang besar itu diberi nama
“Handelsvereeniging Djohan-Djohor” (Perusahaan Dagang Djohan-Djohor).
Toko Djohan-Djohor terus berkembang. Kemudian dua bersaudara itu
mengajak seorang saudagar Minang lainnya berkongsi, namanya Ajoeb Rais.
Latar belakang Ajoeb Rais cukup jelas dipaparkan dalam Memoir
Mohammad Hatta (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1979).
Ia, yang dipanggil oleh Hatta sebagai ‘Ma’ Etek Ajoeb’, adalah ‘penjamin’ hidup Wakil Presiden pertama Indonesia itu selama beliau bersekolah di Batavia (kini: Jakarta), sejak kedatangannya di ibukota Hindia Belanda itu sekitar Juni 1919 sampai keberangkatannya ke Padang pada bulan Juni 1921 untuk kemudian terus ke Belanda pada bulan Agustus pada tahun yang sama, sampai Hatta kembali lagi ke Batavia pada bulan Agustus 1932 (lihat fotonya dalam Memoir Bung Hatta, 1979:63). Bahkan setelah itu Hatta pergi ke Jepang dengan Ajoeb Rais untuk mengadakan perjanjian dagang dengan pengusaha-pengusaha Jepang.
Ia, yang dipanggil oleh Hatta sebagai ‘Ma’ Etek Ajoeb’, adalah ‘penjamin’ hidup Wakil Presiden pertama Indonesia itu selama beliau bersekolah di Batavia (kini: Jakarta), sejak kedatangannya di ibukota Hindia Belanda itu sekitar Juni 1919 sampai keberangkatannya ke Padang pada bulan Juni 1921 untuk kemudian terus ke Belanda pada bulan Agustus pada tahun yang sama, sampai Hatta kembali lagi ke Batavia pada bulan Agustus 1932 (lihat fotonya dalam Memoir Bung Hatta, 1979:63). Bahkan setelah itu Hatta pergi ke Jepang dengan Ajoeb Rais untuk mengadakan perjanjian dagang dengan pengusaha-pengusaha Jepang.
Waktu Hatta sampai di Batavia, Ajoeb Rais sudah
terkenal juga sebagai seorang saudagar besar,tapi hidupnya tetap
sederhana. Ia dan istrinya Daidah (yang dipanggil ‘Mintuo’ oleh Hatta)
dan seorang anak perempuannya yang bernama Nelly tinggal sebuah rumah di
Jalan Jakarta di bilangan Kota (kini Jakarta Pusat). Bung Hatta
menyebut Ajoeb Rais sebagai pamannya. Memang ia juga berasal dari
Bukittinggi tapi tidak dijelaskan bagaimana persisnya hubungan
kekeluargaan mereka.
Diceritakan oleh Hatta dalam Memoir-nya
(hlm. 61-62): Ajoeb Rais meninggalkan Bukittinggi, sebentar tinggal di
Padang, sebelum kemudian pergi ke Betawi. Mula-mula ia bekerja sebagai
jurutulis pada seorang bangsa Jerman, yang berdagang berbagai rupa.
Untuk mencapai kemajuan ia belajar mengetik 10 jari. Dalam waktu yang
singkat sekali ia memperoleh diploma. Hal itu menarik perhatian induk
semang Jermannya itu. Akhirnya ia diberi pekerjaan yang lebih banyak
yang selalu dikerjakannya dengan rajin dan bersemangat.
Ajoeb akhirnya mendapat warisan uang dari induk
semangnya itu sebesar f 10.000 ketika induk semangnya itu pensiun dari
dunia dagang. Ajoeb juga dijadikan anak angkat oleh induk semangnya itu
karena induk semangnya itu tidak punya anak. Karena tangan dinginnya,
akhirnya Ajoeb Rais berhasil dalam dunia dagang. Waktu itu ia
menjalankan perdagangannya lebih banyak dengan cara spekulasi. Ia ambil
sejumlah barang dari orang dalam partai besar, lalu tiga bulan kemudian
harga barang itu dibayarkan. Kalau harga-harga naik, maka dapatlah ia
untung yang lumayan besar. Tapi jika sebaliknya yang terjadi, alamat
bangkrut akan didapat. Cara dagang seperti itu beresiko besar akan jatuh
pailit. Oleh sebab itu, setelah berhasil mengumpulkan uang sebanyak f
500.000, Ajoeb Rais pergi naik haji ke Mekah. Setelah pulang dari Tanah
Suci, ia beralih ke usaha lain. Setelah itulah tampaknya ia bergabung
dengan Firma Johan Johor.
Hatta mencatat dalam Memoir-nya (hlm.
255-57) bahwa ia disambut oleh Ma’ Etek Ajoeb Rais ketika sampai lagi di
tanah air pada tahun 1932. Ajoeb ikut ke Pelabuhan Tanjung Priok untuk
melihat proses pemeriksaan buku-bukunya yang berpeti-peti oleh duane
pelabuhan. Buku-buku itu dikirim dari Belanda dan sebelum diambil oleh
pemiliknya di Batavia, harus diperiksa terlebih dahulu. Hatta
menyebutkan bundelan Majalah Indonesia Merdeka ditahan
oleh duane karena dianggap bacaan berbahaya. Hatta mengatakan bahwa
semua bukunya itu kemudian disimpan di rumah Ma’ Etek Ajoeb Rais di
Defensielijn Van den Bosch yang sebelumnya merupakan sebuah hotel.
Letaknya tepat pada Jalan Sawah Besar menuju Lapangan Terbang Kemayoran
(belakangan disebut daerah Bungur Besar).
Pada bulan Februari 1933 Hatta diajak oleh Ajoeb Rais pergi ke Jepang untuk urusan bisnis dagang pamannya itu. Mereka berangkat dari Batavia via Singapura dengan menumpang kapal Johor Maru.
Perjalanan Hatta dan Ajoeb Rais ke Jepang ditemani oleh seorang rekan
dagangnya orang Jepang yang juga punya kantor perusahaan di Batavia,
yang dipanggilnya Tuan Ando. Ando, Hatta dan Ma’ Eteknya tinggal di
Singapura selama 5 hari.
Keberangkatan Hatta tak lepas dari intaian
spion Belanda. Di Singapura Hatta bertemu dengan beberapa orang
Minangkabau, termasuk salah satu pemilik warung Padang yang selalu
menggratiskan ia makan di restorannya, dan seorang saudagar Minang
pemilik Toko Padang di Batavia bernama Haji Usman yang terpaksa lari ke
Singapura karena jatuh bangkrut dan dikejar-kejar oleh orang-orang yang
menagih utang kepadanya. Perjalanan mereka bertiga di Jepang diceritakan
pada halaman 293-308 dalam Memoir Bung Hatta. Selama berada di
Jepang, Hatta dan pamannya itu tinggal di Hotel Koshien, sebuah hotel
yang terbilang bagus yang terletak antara Kobe dan Osaka.
Ajoeb Rais
yang diasisteni oleh Hatta dan Ando mengadakan perjanjian dagang dengan
beberapa pengusaha Jepang dan melihat beberapa pabrik di Kobe, Osaka dan
Tokyo. Namun, kunjungan Hatta itu diketahui oleh insan pers di Jepang,
sehingga banyak wartawan yang mengerubuti “Gandhi of Java” itu, demikian
pers Jepang menyebutnya, begitu kapal Johor Maru yang ditumpangi Hatta merapat di Pelabuhan Kobe sekitar Maret 1933.
Pada Bulan Maret 1942 Hatta sempat
bertemu dengan Johor yang dipanggilnya ‘Etek’ di Hotel Des Indes di
Jakarta. Waktu itu Hatta dijemput dari Sukabumi untuk bicara dengan para
pentinggi militer Jepang di Batavia. Johor sendiri menyebut Hatta
sebagai ‘[A]nak Gadang’, maksudnya jelas ‘Anak yang kini menjadi orang
besar’ (Hatta 1979:396). Dalam kesempatan itu Johor menyediakan pakaian
baru yang bagus untuk Hatta melalui toko jahitnya Nam Mie
di Jalan Antara. Maksudnya, supaya Hatta kelihatan necis dan gagah
ketika berhadapan nanti dengan para pembesar militer Jepang. Hatta
sempat mampir ke Firma Johan Johor di Senen mengisi waktu luangnya di
Jakarta sebelum berunding dengan para pembesar Jepang (Gunseiken dan
Sumobuco). Pakaian yang dibuatkan oleh penjahit Nam Mie pesanan Etek Johor sangat cocok di tubuh Bung Hatta.
Membaca Memoir Hatta, kita
mendapat kesan betapa dekatnya hubungan tiga serangkai pemilik Firma
Johan Johor dengan Bung Hatta, khususnya Ajoeb Rais. Ajoeb bahkan
menyediakan biaya sekolah untuk Hatta selama ia belajar di Prins Hendrik
School di Batavia. Terkesan pada waktu ikatan emosional sesama perantau
Minang di Jakarta sangat kuat.
Perusahaan dagang Djohan-Djohor terus berkembang dan mempunyai cabang di Pekalongan, Semarang, Surabaya, Bandung, dan Medan. Sumber tulisan ini mencatat: “Semendjak
itoe keadaan di Pasar Senen jadi beroebah benar. Dahoeloe jang ada
disana hanja toko orang Tionghoa semata-mata, tetapi semendjak toko
Djohan-Djohor berdiri, toko-toko orang Boemipoetera jang lain didirikan
poela. Dan sekarang toko-toko kain orang Boemipoetera soedah sebanding
banjaknja dengan toko-toko orang Tionghoa”.
Tampaknya tiga anak muda Minang bersaudara ini
adalah kompetitor pedagang Tionghoa pertama di Pasar Senen. Mereka
termasuk generasi perantau Minang awal yang sukses mengembangkan usaha
dagangnya di Betawi (Jakarta). Seperti sering diekspresikan dalam
cerita-cerita lisan Minangkabau, Djohan tiga bersaudara betul-betul
menggambarkan dunia perantauan orang Minang: pergi meninggalkan kampuang
diiringi sebak sudut mata bunda kandung, dan tanpa modal apapun, untuk
kemudian pulang membawa tuah. Kuncinya adalah sifat rendah hati, hemat, dan suka bekerja keras.
Sumber tulisan ini menulis: “Kadang-kadang
[...] tampak kedoea saudara itoe melihat-lihat pekerdjaan pegawainja.
Air moekanja tenang dan ramah, sedikitpoen tidak tampak ketinggiannja.
Akan tetapi dibalik air moeka jang tenang itoe tersemboenji kekerasan
hati jang sebagai wadja”. Hal itu betul belaka kiranya, sebagaimana
dapat dilihat dan dikesan dalam foto ini: yang duduk Djohan, dan yang
berdiri Ajoeb Rais (kiri) dan Djohor (kanan).
Kisah sukses Handelsvereeniging
Djohan-Djohor menambah lagi pengetahuan kita tentang sejarah perantauan
orang Minangkabau di awal abad ke-20, khususnya mengenai perintis
keberadaan para pedagang Minangkabau di Pasar Senen, Jakarta.
Sumber: http://niadilova.blogdetik.com/index.php/archives/1360
No comments