Sastrawati Sastri dalam Esai Sastra
Yurnaldi sedang membahas Sastra Sastri
Catatan YURNALDI
Penyair dan
wartawan utama
Benar, bahwa nama adalah doa. Karena itu, tidak aneh
kalau Sastri menggeluti dunia sastra. Perempuan energik, cerdas dan super sibuk
ini sudah dikenal luas sebagai seorang penyair, seorang cerpenis, seorang
novelis. Seorang sastrawati. Tidak hanya dikenal di Tanah Air, tapi juga di
negeri jiran Malaysia. Bahkan tahun 2016 lalu, Sastri yang menulis novel laris Kekuatan Cinta (Penerbit Zikrul Hakim, 2008 dan cetak ulang tahun berikutnya,
buku best seller 2011) menerima
penghargaan berupa Anugerah Srikandi Tun Fatimah dari Ketua Menteri Melaka yang
disematkan oleh Perdana Menteri Abdullah Badawi tahun 2007 silam, di Malaka. Kemudian
tahun 2016 menerima Anugera Srikandi Numera dari Malaysia.
Sastri Bakry (Foto yurnaldi)
Benar, Sastri sudah mengikuti jejak papanya, Zaidin
Bakry, yang aktif di dunia politik, seni dan budaya. Buktinya, dia pernah duduk
jadi wakil rakyat di DPRD Sumatera Barat periode 1997-1999. Zaidin Bakry adalah
salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup dikenal di masanya. Seorang
militer berpangkat kolonel yang menyukai sastra sebagai salah satu bentuk
kepeduliannya terhadap bangsanya. Sastrawan Ali Akbar Navis menyebut “Fenomena
Zaidin Bakry, Fenomena Zaman”. Karena mengikuti jejak papanya, maka Sastri
menuruti amanah papanya, agar memakai nama Bakry di belakang namanya, sehingga
jadilah Sastri Bakry. Bahkan, dalam buku Hati
Prajurit di Negeri Tanpa Hati (FAM Publishing, 2015), Sastri Bakry
menyandingkan puisi karya-karyanya dengan karya papanya, Zaidin Bakry. Ini
pertama dalam sejarah sastra di Indonesia, karya anak dan bapak dalam satu buku.
Sastri Bakry pun menjadi fenomena.
Benar, dalam aktivitas kepenyairannya, Sastri Bakry telah
membuat banyak kejutan dalam kesusastraan Indonesia. Tercatat, antara lain
tahun 1997, masih era Orde Baru –setahun sebelum era reformasi, Sastri telah
menggelar acara spektakuler bertajuk Gelar Baca Puisi 20 Tokoh Wanita Sumatera
Barat. Kemudian tahun 2015 menggelar kegiatan internasional bertajuk Numera di
Padang. Setahun kemudian menggelarnya di Bandung, yang diikuti puluhan penyair
dari Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Bahkan, di Pusat Kesenian
Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, tahun 2016, Sastri mementaskan karya-karya
puisi dalam sebuah operet. Gedung pertunjukkan penuh sesak dan tiket masuk
ludes. Ini luar biasa dan hanya Sastri penyair asal Sumatera Barat yang pertama
bikin pentas di TIM dan tiket terjual habis. Bahkan, karena karya sastranya
laris manis, Sastri pun diundang tampil di acara realityshow terkemuka Kick Andy di MetroTv. Sejarah sastra di
Sumatera Barat, dan Indonesia, perlu mencatat peristiwa ini.
Sastri dikerubuti penggemar yang minta tanda
tangan, seusai acara Kick Andy. (Foto dok sastri).
Benar, dari banyak penyair dan sastrawan di Sumatera
Barat, hanya Sastri Bakry yang karya-karyanya pernah dibahas banyak kritikus
sastra di Indonesia dan Malaysia. Dalam buku
Mengupas Sastra Sastri, Kumpulan Kritik Puisi, Editor Narudin, terhimpun
pemikiran sembilan kritikus Sastra dan penyair Indonesia dan Malaysia, yaitu
Ahmadun Yosi Herfanda, Arbak Othman, Dasril Ahmad Denni Meilizon, Djazlam
Zainal, Moh Ghufron Cholid, Narudin, Norawi Hj Kata, dan Yandigsa. Ditambah
kupasan saya hari ini, jadilah yang ke-10 karya Sastri dikupas kritikus dan
penyair. Iyo, bukan?
Baiklah. Dalam suatu kesempatan Sastri pernah berkeluh
kesah bahwa di Sumatera Barat, di kampung halamannya, keberadaan Sastri sebagai penyair tak
dianggap. Ini membuatnya sedih. Ini terjadi, mungkin karena Sastri itu lebih
dulu dikenal sebagai “perempuan bersuara merdu” alias bintang radio di Sumatera Barat. Bahkan, beberapa album
lagu-lagu Minang pun dihasilkannya. Dan Sastri juga dikenal sebagai
organisasiatoris yang campin, dan mampu memimpin. Sehingga Sastri pun dikenal
aktif dan jadi pengurus inti di FKPPI, AMPI, KNPI, DHD 45. Juga HWK Sumbar, WPI
Sumbar, PMI Sumbar, dan diorganisasi Internasional dia dipercaya sebafai Vice
President Women The Malay Islamic World (Dunia Melayu Dunia Islam) yang
berpusat di Melaka.
Akan tetapi, seorang Sastri tak hendak mempersoalkan itu.
Yang penting baginya, terus berkarya dan berbuat. Kita juga harus maklum bahwa
budaya kita, Minangkabau, tidak (?)mengajarkan kita untuk menghargai karya kawan
sendiri. Mengapresiasi karya kawan yang berprestasi. Pepatah mengajarkan, “kalau hebat, hebat surang sajolah, aden
indak kabaguru. Kalau kayo, kayo surang sajolah, aden indak kamaminta.”
Dan untuk menjadi hebat itu, harus dengan perjuangan
sendiri. Dan seorang sastrawan di Sumbar tak pernah saling membesarkan. Kalau
ingin besar, besar sendiri. Baguru ka
alam takambang. Kalau ada pihak-pihak yang sentimen, sakit hati kita
berprestasi dan menjadi hebat, menjadi terkenal –lalu diakali bagaimana agar jatuah tapai, padiarkan (biarkan)
sajalah. Kekuatan karya akan terus mengalir dan tak akan mampu seseorang
membendungnya.
Kita berpikir positif saja, yang terbiasa sinis dengan
seseorang, mungkin karena kurang membaca atau belum membaca, atau karena faktor
usia yang relatif muda. Sastri bukan orang baru dalam dunia sastra.
Karya-karyanya sudah terhimpun dalam antologi cerpen Perempuan dalam Perempuan (penerbit Forum Sastra Wanita Tamening,
1995); Sajak Berdua (Forum Sastra
Wanita Tamening, 1996); 26 Penyair Hawa
(1997); Puisi 1999 Sumatera Barat
(1999); Antologi Penyair Sumatera Barat
(2000); …Ungu Pernikahan (Kumpulan
Cerpen Bersama Titi Said, Pipit Senja, dll (Penerbit Zikrul Hakim 2008); buku novel Kekuatan Cinta (Penerbit Zikrul
Hakim, 2009); Novel Hatinya Tertinggal di
Gaza (Penerbit Grasindo, 2011); Antologi puisi wanita penulis Indonesia Nyanyian Pulau-Pulau (Penerbit Yayasan
Obor, 2010). Potongan Tangan di Kursi
Tuhan (Penerbit RAhima Intermedia Yogyakarya, 2011); Menyirat Cinta Haqiqi (antologi puisi bersama Dato’Kemala, dll),
terbit di Malaysia, 2012; Langit Terbakar
di Saat Anak-Anak itu Lapar, Antologi puisi prosa liris 50 penyair
Indonesia (Sastra Welang Pustaka, 2013); Kartini,
Masih di Situkah Kau, kumpulan puisi (Penerbit D3M Kail, 2013); Kumpulan
Puisi Hati Prajurit di Negeri Tanpa Hati
(Fam Publishing, 2015); novel Sedikit di
Atas Cinta; antologi puisi Sastra
Sastri dalam Puisi, Antologi Puisi Syair
Persahabatan Dua Negara (Pustaka Senja, 2015), Antologi Puisi Penyair Dunia
The Gliding Snake (Penerbit WAAC
Amerika), dan sejumlah buku lainnya. Sebagai seorang penyair, cerpenis dan
novelis atau sastrawan, nama Sastri Bakry sudah ada dalam Leksikon Susastra Indonesia yang disusun Korie Layun Rampan
(Penerbit Balai Pustaka, 2000); juga dalam buku Geo Sastra Minangkabau yang ditulis AA Navis. Di Wikipedia nama
Sastri Bakry juga tersedia.
Dari data dan fakta di atas, terbukti Sastri Bakry sudah
memulai kiprah kepenyairannya sejak tahun 1990-an dan sesungguhnya telah
memberikan kontribusi bagi pemasyarakatan kesusastraan Indonesia dasawarsa
tahun 1990-an sampai sekarang. Sastri dalam peta kepenyairan Indonesia bukalah
kaum penghamba bakat alam. Sastri lahir dan membesar dalam lingkaran kelompok
yang membaca, yang menyadari, bahwa kreativitas estetiknya menuntut wawasan,
pengetahuan, informasi lain dari teks-teks yang lain.
Membaca puisi-puisi Sastri, saya melihat ada style, kekhasan atau penanda jati
dirinya, yang semuanya mengalir begitu saja, seperti seseorang yang ingat masa
lalunya, lalu membuka file lama yang
tersimpan dalam folder kesadaran
estetiknya.
Karya sastri dalam kumpulan puisi. (Foto
yurnaldi)
Karena itu, tidak salah Sastrawan Negara Dato’ Dr Ahmad Khamal
Abdullah (Kemala) yang juga Presiden Nusantara Melayu Raya (Numera) Malaysia,
menilai bahwa Sastri Bakry tidak syak lagi sastrawati berbobot yang pernah
dilahirkan oleh Sumatera Barat. Semenjak tiga dasa warsa yang lalu beliau
mengabdi di tengah-tengah massa baik sebagai pimpinan badan sosial politik.
Sebagai sastrawati Sastri sudah memamerkan belangnya yang berwarna warni. Ranah
Minang dan Nusantara Melayu Raya (Numera) dan keluarga sastrawan di Malaysia
merasa berbahagia karena kehadiran sastrawati yang prolifik ini.
Ketika saya membaca puisi-puisi dalam buku Hati Prajurit di Negeri Tanpa Hati
(2015), yang berarti dihasilkan selepas Sastri punya pengalaman hidup setengah
abad, ekspresi puitiknya telah terbentuk pada awal Sastri menunjukkan kiprah kepenyairannya
di era 1990-an. Itulah yang saya maksud membuka file lama dari folder
masa lalu.
Aura magis puisi
bergerak seputar suara hati dan denyut jiwa. Sastri menyadari bahwa hakikat
puisi tidak hanya sekadar luapan emosi atau ekspresi jiwa. Selalu, di sana, ada
sesuatu yang sengaja disembunyikan, ada pesan yang hendak diselusupkan. Periksa
puisi Sastri berjudul Surat untuk Tuan Presiden.
Tuan presiden
Ini surat-surat
cinta dari mereka yang kita tinggalkan
Mereka yang kita
banggakan
Lalu kita butakan
Mereka adalah
pahlawan devisa
Pahlawan yang ikut
meningkatkan pertumbuhan ekonomi
Kita elu-elukan
dalam setiap pidato-pidato
Seluruh pejabat di
Negara ini
Tuan Presiden
Cinta sejati mereka
berikan pada bangsanya
Tidak dihargai
dengan cinta oleh bangsanya
Mereka dibiarkan
terjungkal dalam ketidakadilan
Dalam perlakuan
yang penuh zalim
Tuan presiden
Bisakah anda
bayangkan
Mereka dipaksa
meminum air kencing
Mereka dipaksa
memakan babi
Mereka tidak lebih
berkarya dari anjing yang tak mejilat tuannya.
Hongkong, 2101
Puisi di atas menunjukkan bahwa puisi kerap datang
sebagai panggilan jiwa, sebagai suara hati yang paling dalam. Seperti deklarasi
yang dikumandangkan para penyair romantik, puisi adalah getaran jiwa yang
terdalam dan berada nun jauh entah di mana, namun menyebar mengikuti aliran
darah.
Pada umumnya puisi Sastri adalah catatan tentang
sebuah peristiwa dan atau catatan perjalanan yang ia temui atau dia alami. Jadi
puisi sebagai catatan individual, sangat personal. Pada puisi G 30 S 17.16, misalnya, Sastri mencatat tentang gempa dahsyat yang melanda Sumatera
Barat. Bagaimana pun juga, puisi tersebut tetap akan menjadi bagian dari
catatan sejarah, meskipun sebagai puisi, catatan sejarah itu berdasarkan
pandangan subyektif penyair. Oleh karena itu, peristiwa gempa dahsyat 30
September 2009 pukul 17.16 WIB, tetap saja sebagai catatan subyektif yang
sifatnya sangat personal. Berikut penggalannya:
…
Dalam detik
Gedung bertingkat
empat
Rata menyatu dengan
bumi dan dalam tindihan tubuh-tubuh manusia, sahabatku
Suara-suara Allahu
Akbar menggema bersahut-sahutan
Sepasang kaki
terpisah dari tubuhnya
Jari-jari berlari
meninggalkan lengannya
Mata-mata terhunjam
besi-besi
Kepala-kepala bocor
tertekan paku
Hentakan besi
bersuara dalam himpinan dana
…
Puisi Pulau
Mansinam, catatan Sastri di distrik Kumurkek, Manokwari, yang
mempertanyakan soal perang suku dan berharap cinta damai.
Pulau Mansinam
Di antara kita
bertaut rasa membangun cinta
Di tanah Papua
semua bermula
Air laut tenang
membiru menjadijarak antara kau dan aku
Mentap ikan menari
dalam jaring terpaut kasih
Rinai membalutnya
dalam kabut senja
Papeda hangat
bermain dalam sendok dan garpu
Berputar, bergulung
dan menyatu dalam piring porselen putih
Sungguhkah
tetua-tetua adat akan berperang suku karena kita?
Negeri mana ada
hukum tak perlu diacu?
Di Pulau Mansinam
kita bangun cinta bersama untuk hari esok
Berjalan ke distrik
Kumurkek
Agar jalur ini
tetap bergerak dalam cinta penuh kasih
Air sumur di pulau
Mansinam tertanam harapan
Aku tertekuk dalam
doa padaMu ya Allah.
Manokwari, April
2013.
Walaupun Sastri dalam karya-karyanya bermain dalam diksi,
majas, dan gaya bahasa, tetap memberikan aura puisi yang menghamparkan medan tafsir. Yang
memungkinkan pembaca leluasa menafsir maknanya, baik secara tekstual maupun
kontekstual. Persoalannya tinggal, bagaimana pembaca coba menerjemahkan teks
itu sesuai dengan pengalaman dan asosiasinya tentang apa yang disampaikan dalam
teks puisi yang bersangkutan.
Bahwa penafsiran itu benar atau tidak tepat, tentu saja
semuanya sah. Puisi adalah hamparan makna yang berada di lautan tafsir. Jadi,
tafsir apa pun yang disampaikan pembaca, segalanya sah sejauh dia punya
argumen.
Selamat menafsir
puisi-puisi Satri Bakry.
No comments