Menikmati Pantai Pasir Putih Menyatu dengan Goa, dan Dinding Batu di Mentawai
Wisatawan mancanegara ke Mentawai menggunakan kapal mewah yang dilengkapi helikopter. (Foto Yurnaldi)
Oleh YURNALDI
Peraih Pesona Pariwisata Award 2016 dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Inilah uniknya Kabupaten
Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat, yang tiada duanya di dunia. Ada
pantai pasir putih menyatu dengan goa, dengan dinding batu pebukitan dan batu
mirip kapal yang melegenda di Desa Malakopa, Kecamatan Pagai Selatan, di sisi
barat Pulau Pagai Selatan yang berhadapan langsung dengan perairan Samudera
Hindia. Berjarak sekitar 130 mil tenggara Kota Padang
Sebelum Anda terpesona dan
tergoda dengan potensi wisata Desa Malakopa, nikmati dulu bagaimana serunya perjuangan
untuk sampai ke sana. Memang, keindahan dan eksotika Mentawai cocok bagi
wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara dengan minat khusus. Jika Anda
hobi berpetualang, ingin menikmati karunia keindahan alam ciptaan Allah SWT
dengan nyaman, maka berwisata ke Pantai Pamintaijat adalah pilihan terbaik.
Dermaga di Desa Malakopa. (Foto Yurnaldi)
Jika Anda suka
bermain-main dengan gelombang setinggi 4-6 meter di perairan Samudera Hindia,
maka ada lokasi berselancar di Tunang Sibuak dan Talak/Sibigeu. Sudah tak
terhitung banyaknya peselancar dunia yang bermain dengan gelombang Tunang
Sibuak dan Talak/Sibigeu di desa Malakopa tersebut.
Di Mentawai ada lebih dua
puluh lima titik terbaik untuk berselancar. Dan perlu dicatat, dari 10 titik
terbaik di dunia untuk berselancar, dua terdapat di Mentawai. Ini versi Surf
Magazine Australia.
Kepala Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kepulauan Mentawai, Desti Seminora, tengah presentasi tentang potensi dan prospektif pariwisata di Desa Malakopa. (Foto Yurnaldi)
Data di Dinas Pariwisata
Pemuda dan Olahraga Kabupaten Kepulauan Mentawai, tercatat sejak Januari hingga
Juni 2017, Mentawai sudah didatangi 3.000 peselancar. “Jumlah wisatawan
mancanegara khusus peselancar meningkat dibanding tahun 2016 yang hanya 2.000
orang,” kata Desti Seminora, seusai mengunjungi Desa Malakopa bersama penulis
dan wartawan, akhir pekan lalu.
Bupati Kepulauan Mentawai
Judas Sabaggalet, di tempat terpisah menyatakan bahwa Kepulauan Mentawai adalah
surga bagi wisatawan. Mentawai mungkin tak cocok dikembangkan seperti Bali,
yang wisatanya sudah bersifat massal. Keindahan dan keberagaman obyek wisata dengan
tujuh ikon dunia di Mentawai hanya cocok untuk wisatawan dengan minat khusus;
ya peselancar, yang peneliti, ya petualang, dan wisatawan yang butuh kedamaian
dan ketenangan. “Mentawai surga bagi artis hollywood dan olahragawan dunia,”
jelas Judas, yang sudah dua periode dipercaya jadi Bupati Mentawai.
Dinding batu di Pantai Pamintaijat, merupakan daya tarik tersendiri. (Foto Yurnaldi)
Dinding batu di Pantai Pamintaijat, merupakan daya tarik tersendiri. (Foto Yurnaldi)
Mau ke Malakopa?
Selasa sore itu, KMP
Ambu-ambu benar-benar dipadati penumpang. Semua bangku dan kamar VIP sesak
penumpang. Gang tempat lalu lalang sudah terbujur tidur para penumpang yang tak
kebagian tempat duduk dengan menggelar tikar. Pemandangan seperti itu, mungkin
sudah biasa. Selain dipadati warga yang kembali ke Sikakap, juga dipadati
penumpang yang hendak berwisata.
Mentawai bagai magnet.
Kalaulah sempat sekali-dua kali ke sana, pasti selanjutnya keinginan ke
Mentawai lagi dan lagi. Pokoknya, tak membosankan. Bagi yang sudah berwisata ke
Bali atau Lombok, Mentawai yang berjuluk “Paru-paru Dunia”, alami alamnya dan
ramah masyarakatnya, jauh lebih mengasyikkan. Yang sekali datang umumnya tak
mengira keelokkan Mentawai begitu sulit dilukiskan dengan kata-kata. Lebih
rancak langsung saja menikmatinya. Ayo segera ke Mentawai.
"Kapal yang membatu" legenda di Pamintaijat. (Foto Yurnaldi)
"Kapal yang membatu" legenda di Pamintaijat. (Foto Yurnaldi)
Berangkat Selasa pukul 16.30 WIB dari Pelabuhan Bungus,
Kota Padang, KMP Ambu-ambu merapat di Pelabuhan Sikakap, Kepulauan Mentawai,
hari Rabu pukul 06.05 WIB. Perjalanan yang mengasyikkan dan mungkin juga
mendebarkan, sekiranya badai datang tiba-tiba. Perjalanan selama lebih kurang 14
jam di lautan Samudera Hindia, dari senja, malam hari, hingga fajar
menyingsing, menarik untuk berkontemplasi dan membaca diri. Di lautan luas,
kapal bagai noktah saja. Dan kita,
seperti tak berarti apa-apa. Sangat kecil. Kondisi seperti itu memungkinkan
kita tersadar dari kealpaan kita, dan kemudian mensyukuri semua rahmat dan
karuniaNya yang luar biasa.
Di Sikakap, Ibukota
Kecamatan Sikakap, ada penginapan bagi yang ingin menginap di situ. Tapi saya,
Agung dan Arif, serta rombongan dari Dinas Pariwisata Mentawai; Desti Seminora,
Ruslianus, Ramayani Aziz Sababalat, Rahmawatie, Merna Wati langsung menikmati
pesona keindahan alam dan pantai di Dusun Makalo dan Dusun Sinaka, Kecamatan
Pagai Utara.
Pelabuhan Sikakap (Foto Yurnaldi)
Pelabuhan Sikakap (Foto Yurnaldi)
Dengan menggunakan boat
berkecepatan 3 x 40 tenaga kuda, dalam dua jam perjalanan sampai ke dusun yang
kami tuju, yakni Desa Sinaka. Kami berangkat setelah hujan reda. Besoknya, baru
kami melanjutkan perjalanan ke Malakopa. Cerita soal pesona Sinaka, nanti akan saya
tulis nantinya.
Perjalanan ke Malakopa
melihat arah angin, karena melewati pantai barat yang berhadapan langsung
dengan gelombang Samudera Hindia. Jika tak ada angin barat, perjalanan relatif
aman. Dan pemilik serta pengendali motor boat di Mentawai umumnya cerdas sekali
dan sudah cekatan membaca cuaca. Saat mana aman dan tidak aman untuk berlayar.
Perhitungan waktunya harus tepat. Dalam dua jam perjalanan, penulis sudah
sampai di Desa Malakopa.
Setelah menaruh barang
bawaan di penginapan rumah warga, penulis mulai menikmati Desa Malakopa dengan
berjalan kaki sejauh lebih kurang 2 km. Sepanjang perjalanan dengan topografi
mendaki dan menurun, kami melihat buah-buahan yang lagi berbuah, seperti
mangga, kedondong, pala, durian, ambacang, cokelat, dan pisang. “Ini salah satu
daya tarik bagi wisatawan, apalagi saat musimnya,” jelas Desti Seminora.
Sisa-sisa keemasan cengkih
Mentawai, masih bisa kita saksikan di Malakopa. Berada di kawasan kebun
cengkih, lain pula sensasinya, apalagi sembari menikmati nasi bungkus dengan
masakan khas kepiting endemik Mentawai, Muanggau. Mau dibikin sup atau gulai
Muanggau, sensasinya enaknya; nendang
banget. Lamakbana!
Menikmati makan sup anggau, kepiting endemik Mentawai. (Foto Yurnaldi)
Setiba di pantai
Pamintaijat, waaawwww….putih pasirnya terhampar luas selebar lebih kurang 50-100 meter sepanjang 2 km. Uniknya, di
kawasan pantai itu juga terdapat sebuah goa wallet sepanjang 50 meter.
Sementara dinding batu tegak lurus setinggi 20-40 meter memagari pantai yang
penuh pesona tersebut.
Saat pasang surut terumbu
karang di tepi pantai amat bagus tempat anak-anak bermain, melihat anak ikan
warna-warni, bintang laut dan teripang yang terperangkap di cekungan karang.
Bahkan, di sebuah cekungan karang, ketika gelombang datang, airnya muncrat
bagai air mancur. Desti, Ruslianus, dan Agung girang sekali bisa mandi dari
cipratan air tersebut.
Mandi air laut yang muncrat bagaikan air mancur di Pantai Pamintaijat. (Foto Yurnaldi)
Mandi air laut yang muncrat bagaikan air mancur di Pantai Pamintaijat. (Foto Yurnaldi)
Desti langsung
membandingkan suasana di Uluwatu, Bali. Jika bukitbatu di Uluwatu tak bisa
dijejaki pantainya, di Mentawai bisa. Panorama dari atas bukit atau ke pantau,
luar biasa indahnya. Pasir putih, bro.
“Ini bakal menjadi tujuan
wisata yang dahsyat di Mentawai. Di satu lokasi bisa menikmati gelombang untuk
selencar, pasir putih yang terbentang luas, goa, dinding batu dan bebatuan yang
mirip kapal dengan sebuah legenda. Ekowisata juga sangat menunjang dengan kuliner
khas yang tiada duanya,” kata Desti.
Sup Anggau, onde mande... lamak bana (Foto Yurnaldi)
Sup Anggau, onde mande... lamak bana (Foto Yurnaldi)
Bahkan, tahun 2018, Desti
Seminora saat sosialisasi di kantor Desa, memastikan akan menggelar Festival
Muanggau di Malakopa. Camat Pagai Selatan, Rahmat Jaya Sakarebau, menyambut
baik rencana Festival Muanggau tersebut dan semua lapisan masyarakat sangat
mendukung.
Menurut Desti, agar geliat
ekonomi semakin bersinar di Desa Malakopa, usahakan setiap rumah warga
mempunyai satu kamar untuk disewakan kepada tamu. Jadi wisatawan mancanegara
dan nusantara bisa menginap supaya wisatawan betah berlama-lama menikmati
pesona Pantai Pamintaijat dengan segala potensinya. Selain itu juga akan
digelar Festival Bahari Desa Malakopa dan Festival Mujarig, pesta menangkap
ikan dengan jaring di tepi pantai. Bibir pantai yang ikannya banyak, hanya ada
di Malakopa! Ayo, tunggu apalagi, agendakan segera ke Malakopa.*
No comments