Sawahlunto Bangkit dengan Tambang Tua
DARI kota bekas tambang batubara yang mati pada akhir abad ke-20, Kota Sawahlunto di Sumatera Barat kini menggeliat menjadi kota wisata.
Proses melepas identitas kota tambang yang berada sekitar 90 kilometer dari Padang, ibu kota Sumbar, menjadi kota wisata tambang tidak mudah bagi warga Sawahlunto. Mereka bahkan berpikir hal itu mustahil.
Rasa pesimistis tersebut disebabkan Sawahlunto yang sejak tahun 1888 berjaya lewat tambang, dibuat tak berdaya oleh tambang. Batubara yang sekian lama menopang kehidupan masyarakat, habis produksinya pada tahun 1998. Kota praktis lumpuh.
Angka kemiskinan melonjak hingga 20 persen dan pertumbuhan ekonomi -6,7 persen. Ikutannya, kriminalitas naik, ketertiban umum terganggu, lingkungan dan sarana umum rusak, dan kehidupan sosial terganggu. Sepanjang tahun 2002-2005 sekitar 8.000 orang meninggalkan kota.
”Ketika warga diajak berdiskusi, tidak sedikit yang berujar, keinginan menghidupkan kembali kota melalui wisata tambang hanya pekerjaan sia-sia,” ungkap Wali Kota Sawahlunto Amran Nur periode tahun 2003-2008 dan 2008– 2013 saat ditemui di kota itu.
Meski begitu, pemerintah kota dan pemangku kepentingan lain tidak patah semangat mewujudkan mimpi besar menjadikan Sawahlunto sebagai Kota Wisata Tambang Berbudaya.
Amran beserta para kepala dinas dan petugas di bawahnya mendata orang miskin, lengkap dengan alamat mereka. Satu per satu mereka diajak berdiskusi, mengajak untuk menjadikan kota mereka sebagai kota wisata. Setiap bulan ada pertemuan dengan warga untuk mendengar keinginan mereka. Mereka yang berhasil beralih bekerja di sektor wisata diundang untuk berbagi pengalaman.
Tahap berikut, pemerintah mendirikan pusat pengembangan bisnis pada 2010 dan menyediakan bantuan, terutama pendanaan tanpa bunga. Pemerintah juga membagi gratis bibit cokelat dan karet.
Perlahan-lahan warga yang semula bergantung pada industri tambang batubara beralih menekuni kegiatan yang berhubungan dengan wisata.
Pusat kota dibenahi menjadi kawasan wisata utama. Kekayaan fisik, seperti bangunan dan fasilitas sisa pertambangan, dikemas menjadi tujuan wisata. Terwujudlah Museum Goedang Ransoem, Museum Kereta Api, dan Museum Mbah Suro. Sementara aset nonfisik, yaitu tradisi, menjadi bagian tak terpisahkan. Selain itu, tujuan wisata penunjang juga dibangun, seperti wisata air, pusat kuliner, perkampungan tenun, dan tempat wisata Kandi dengan aneka wahana rekreasi.
Upaya itu membuahkan hasil. Kunjungan wisatawan meningkat dari hanya 14.425 orang tahun 2004 menjadi 750.385 orang pada 2012. Jumlah orang miskin juga turun dari 20 persen menjadi 2,4 persen. Hasil nyata itu membuat warga mau terlibat membangun kota.
”Kami belajar, untuk terus tumbuh adalah bersama menjaga apa yang dimiliki dan merencanakan apa yang bisa dikembangkan ke depan,” ujar Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sawahlunto Medi Iswandi.
Industri kreatif
Berkembangnya pariwisata menumbuhkan industri kreatif di masyarakat, seperti kerajinan, kuliner, dan jasa.
Beruntung Sawahlunto memiliki Silungkang, kawasan yang sudah sejak awal abad lalu dikenal secara nasional karena kehalusan tenun songketnya.
”Lebih dari 600 orang menggantungkan hidup dari sana. Perputaran uang tiap tahun mencapai Rp 30 miliar, terbesar dibandingkan dengan ekonomi kreatif lain,” kata dia.
Rita Amril (50), pemilik Arena Songket INJ, contohnya. Dia sukses memperkenalkan songket Silungkang hingga ke luar negeri.
Kerajinan rotan di Silungkang, aksesori dari batubara, dan anyaman di Desa Tumpuk Tangah juga tumbuh. Begitu pula produk kreatif lain, seperti makanan dan cendera mata.
Lumindy Chocolate milik Deni Elita (38), berangkat dari industri rumahan di kampung Sungai Durian, Kecamatan Barangin. Lima tahun lalu, produksinya hanya 5 kilogram cokelat per bulan. Kini, setelah pindah ke pusat kota dan difasilitasi Pemerintah Kota Sawahlunto, dia bisa memasarkan 35 kg cokelat per bulan.
Minimnya hotel di Sawahlunto membuka peluang bagi warga menyediakan rumah inap (homestay). Jumlahnya tumbuh dari hanya 6 buah tahun 2009 menjadi 53 unit pada 2013.
Pasangan Elfanis (72) dan Khairuddin (73), yang mempunyai Homestay Oma di pusat kota Sawahlunto, pada 2012 hanya mampu menyediakan 3 kamar tidur. Kini mereka memiliki 12 kamar yang dikelola serius.
Keberagaman budaya
Aset lain Sawahlunto adalah keberagaman warganya sebagai peninggalan penambangan batubara masa kolonial yang membutuhkan tenaga kerja dari luar kota itu.
Selain etnis Minang, juga ada suku Jawa, Sunda, Batak, Bugis, dan Tionghoa. Masing-masing suku tetap membawa tradisi asal dan meramaikan kota itu.
Etnis Jawa yang berjumlah sekitar 30 persen dari penduduk, masih merayakan Gerebek Suro di Taman Silo di pusat kota. Pada tahun baru Islam 1 Muharam, warga mengusung gunungan berisi hasil bumi sebagai simbol kemakmuran. Gunungan itu juga diperebutkan warga tanpa kecuali seperti laiknya tradisi di Yogyakarta. Bedanya, perayaan itu disertai pawai ondel-ondel yang sebetulnya khas Jakarta.
Wali Kota Sawahlunto Ali Yusuf mengatakan, keberagaman itu menjadi modal penting untuk pengembangan wisata Sawahlunto.
Selain mempertahankan kekuatan identitas masing-masing, masyarakat juga sangat terbuka pada budaya luar. Tidak mengherankan jika ada orang Minang mendalang wayang kulit.
Ali menambahkan, proses kreatif memunculkan hal baru tetap diselaraskan dengan visi-misi Sawahlunto agar kota itu tetap memiliki kekhasan. Semua detail menyangkut pengembangan infrastruktur pendukung dan fasilitas umum, seperti taman kota dan ruang terbuka hijau, hingga ide segar dari masyarakat terus diperhatikan.
”Jangan mati sebelum melihat Kota Sawahlunto,” ujar Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara periode 2004-2009, Taufik Effendy, saat penganugerahan Leadership Award pada Amran Nur pada 2007. (Ismail Zakaria)
No comments