web counter Mentawai, Pulau Terdepan Rawan Gempa dan Tsunami yang Minim Infrastruktur Telekomunikasi - KabarMinang.com

Header Ads

PKK

Mentawai, Pulau Terdepan Rawan Gempa dan Tsunami yang Minim Infrastruktur Telekomunikasi


    Wisatawan mancanegara memburu gelombang terbaik dunia di Mentawai selama 10-14 hari,  namun fasilitas untuk berkomunikasi sangat minim. (Foto Yurnaldi) 


Oleh YURNALDI
Wartawan Utama 

Selalu saja, setiap kali menjalani tugas jurnalistik di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat, sejak dua dasawarsa terakhir, kesulitan utama tidak bisa mengirimkan berita dan laporan aktual langsung dari daerah seluas 6.746 kilometer persegi ini. Tidak bisa akses internet dan sangat susah mengirim foto atau video peristiwa. Jalan satu-satunya adalah balik ke Padang, ibukota Provinsi Sumatera Barat, yang jarak tempuh sekira 90 -  120 mil laut. Itu pun dengan catatan, kalau hari itu ada kapal dan sedang tidak ada angin badai. Dan perjalanan normal  Siberut - Padang atau Sikakap - Padang, atau Tuapeijat – Padang dengan kapal laut jenis roro selama 12-15 jam. Kecuali dari ibukota kabupaten, Tuapeijat, ada kapal cepat tujuan Padang, dengan waktu tempuh 4-5 jam, jika tak ada badai.
                Jangan heran, setiap informasi dari kepulauan terdepan di Samudera Hindia di wilayah Sumatera Barat ini, sampainya selalu terlambat, baik informasi untuk pemerintah/badan publik maupun informasi untuk publik. Baik itu saat terjadi gempa dahsyat dan tsunami yang melanda Mentawai yang menelan korban jiwa sampai 500 orang tahun 2009 lalu,  maupun pada peristiwa-peristiwa lain, seperti musibah kecelakaan kapal. Kepulauan Mentawai yang berpenduduk lebih 80.000 jiwa dan mendiami 25 pulau dari 323 pulau, memang sangat minim infrastruktur komunikasi dan sarana transportasi. Dari 25 pulau yang berpenghuni itu, empat di antaranya pulu besar, yakni Pulau Siberut (seluas 383.825 hektar), Pulau Sipora (65.155 hektar), Pulau Pagai Utara (71.391 hektar), Pulau Pagai Selatan (80.764 hektar).

Kapal merapat di dermaga Sikakap, Kepulauan Mentawai. (Foto Yurnaldi)

                Padahal, sebagai daerah tujuan wisata dunia, keberadaan sarana komunikasi sangatlah penting. Pentingnya tidak saja untuk mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi dan kemasyarakatan, melainkan mampu menjadi katalisator dalam mempromosikan potensi daerah, meningkatkan daya tarik investasi, peluang usaha, bahkan lapangan kerja baru. Dan yang lebih utama, dengan infrastruktur komunikasi yang lebih memadai, tentu akan sangat membantu pihak keamanan melakukan penjagaan dan pemantauan guna memperkokoh terpeliharanya Negara Kesataun Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara kepulauan.
                Dan ketika Presiden Jokowi dengan program Nawacita menjadikan pulau terdepan sebagai salah satu prioritas pembangunan, ada angin segar bagi kemajuan Mentawai. Salah satu angin segarnya adalah sedang dikerjakannya pembangunan infrastruktur jalan Trans Mentawai. Akan tetapi, bagaimana dengan pembangunan infrastruktur jaringan telekomunikasi? Sepertinya masih jauh dari harapan, apalagi kalau pertimbangannya untuk mendapatkan keuntungan.
                “Banyak keluhan yang disampaikan masyarakat di Mentawai akibat minimnya akses telekomunikasi, baik untuk komunikasi suara maupun data. Kami minta pihak Telkomsel untuk memperkuat jaringan dan menambah jaringan komunikasi di daerah Mentawai,” kata Bupati Kepulauan Mentawai, Judas Sabaggalet.

Bupati Kepulauan Mentawai Judas Sabaggalet

                Karena sering terjadi gempa di Mentawai. Bupati Jugas Sabaggalet juga berharap pihak Telkomsel menyediakan alternatif lain jika ada gangguan signal, sehingga masyarakat tetap bisa memanfaatkan akses telekomunikasi. “Saat ini akses telekomunikasi menggunakan jaringan internet baru hanya bisa dipusatkan di ibukota kabupaten, yakni di Tuapeijat, Pulau Sipora,” katanya.
                Ketika pihak Telkomsel mendukung pembangunan negeri dengan memperluas infrastruktur jaringan telekomunikasi di wilayah-wilayah terdepan dan terluar di Indonesia, maka yang dilirik baru Kepulauan Natuna dan Anambas di Provinsi Kepri, dan Sabang di Provinsi Aceh. Bahkan, telkomsel menggelar jaringan di titik terluar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, yakni Vietnam, Kamboja, Singapura, dan Malaysia.

Masyarakat Mentawai di Desa Malakopa, sibuk mencari signal agar bisa berkomunikasi.
 (Foto Yurnaldi)

                Kepulauan Mentawai yang juga menjadi pulau terdepan Indonesia dan yang paling rawan gempa dan tsunami, dalam pembangunan infrastrutur jaringan komunikasi seharusnya pertimbangannya bukan untung-rugi, melainkan wilayah yang perlu mendapat perhatian khusus karena sering terjadi gempa dan berpotensi tsunami. Berbagai penelitiaan tentang kegempaan menyimpulkan, Mentawai sangat berpotensi gempa berkekuatan 9 Skala Richter.
Gempa dan Tsunami Aceh, 26 Desember 2004, yang berkekuatan 9,1 sampai 9,3 Skala Richter menelan korban (yang ditemukan) hingga 250 ribu jiwa dan 200 ribu korban lainnya dinyatakan hilang. Gempa dan Tsunami yang melanda Mentawai 30 September  2009, berkekuatan 7,6 SR saja  menewaskan lebih 500 warga Mentawai  dari 1.117 warga Sumatera Barat yang tewas, 1.214 korban luka berat, 1.688 korban luka ringan dan 1 hilang.

Masyarakat Mentawai yang bermukim di Pulau Sikakap mendambakan akses telekomunikasi 
yang lancar. (Foto Yurnaldi)

Bisa dibayangkan, setiap kali gempa di Mentawai –akibat Sesar Aktif Mentawai, trauma masyarakat semakin menjadi-jadi karena jaringan komunikasi dari dan ke Mentawai menjadi terganggu. Kepanikan luar biasa pun tak terhindarkan. Jangankan pada masa-masa dilanda bencana, dalam situasi normal pun mayarakat susah berkomunikasi karena jaringan yang terbatas. Akibatnya, sebagian besar aparatur sipil negara (ASN) yang bertugas di Kepulauan Mentawai, keluarganya memilih tinggal di Kota Padang.

Bukan gelombang tsunami, tapi gelombang yang diburu para peselancar dunia di Kepulauan 
Mentawai. (Sumber foto: Beauty of Indonesia)


Peta Kabupaten Kepulauan Mentawai, Pulau terdepan Indonesia di Samudera Hindia.

Mentawai Beda dengan Sabang dan Natuna
                Jika kita sepakat memperkokoh terpeliharanya NKRI  sebagai negara kepulauan dan membantu TNI khususnya dalam menunjang berbagai kegiatan operasional tentara bertugas di garda terdepan dalam menjaga keutuhan negara, maka kehadiran sarana komunikasi sangatlah penting. Mencermati Kepulauan Mentawai yang rawan gempa dan tsunami, maka keberadaan infrastruktur jaringan telekomunikasi yang memadai, jauh lebih penting.
                Jika tahun 2016 di Natuna dan Anambas telah dioperasikan 59 Base Tranceiver Station (BTS), termasuk 22 BTS 3G oleh Telkomsel, maka di Mentawai baru 7 BTS. Jika di Pulau Sabang, Pulau Natuna, dan Pulau Belitung pihak Telkomsel menyerahkan bantuan sarana internet berupa Laptop, Modem WiFi dan paket internet gratis selama 1 tahun pada HUT 21 Tahun Telkomsel, tahun 2016 lalu, maka bantuan serupa untuk Kepulauan Mentawai belum ada, walau sama-sama pulau terdepan.
Tampak di belakang, menara BTS Telkomsel di Desa Malakopa, kecamatan Pagai Utara, Kepulauan Mentawai. Kepala Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga Desti Seminora tengah memberikan laporan ke Bupati Kepulauan Mentawai Judas Sabaggalet. (Foto Yurnaldi)

                Ketika penulis berdialog dengan GM Telkomsel Area Padang, Romy Rinaldi, 25 Agustus 2017, di ruang kerjanya di Padang, maka diakui bahwa relatif terbatas atau minimnya infrastruktur jaringan telekomunikasi di Kepulauan Mentawai, karena untuk investasi membutuhkan biaya yang relatif besar.
                “Untuk memelihara yang ada saja, susahnya minta ampun. Jaringan listrik dan daya listrik sangat minim. Yang ada cuma Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Mendapatkan BBM solar untuk bahan bakar PLTD susah dan mahal. Ketika dibawa langsung BBM solar dari Padang, ditangkap pihak kepolisian. Begitulah faktanya,” kata Romy, dengan nada pasrah.
                 Situasi dan kondisinya berbeda dengan Pulau Sabang yang merupakan pelabuhan bebas dan sudah jauh lebih maju dari Kepulauan Mentawai. Begitu juga dengan Kepulauan Natuna yang  menghasilkan minyak dan gas , sehingga tak ada kendala investasi. Jadi sangat beda dengan Mentawai yang untuk investasi satu menara BTS saja sedikitnya membutuhkan dana miliaran rupiah, karena geografis Mentawai membuat akses transportasi susah dan berbiaya mahal. “Ketika ada pihak yang ingin berinvestasi untuk menara telekomunikasi, misalnya, apakah Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai bisa menjamin ketersediaan daya listrik? Dan juga akses transportasi?” ungkap Romy Rinaldi.
                Menurut GM Telkomsel Area Padang itu, mengacu ke regulasi Peraturan Bersama Menteri dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 18 Tahun 2009 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi, maka pembangunan infrastruktur menara komunikasi bukan  menjadi tanggung jawab Telkomsel, tetapi juga tanggung  jawab operatot seluler lain dan atau investor khusus pembangunan menara.
                Pasal 1 Peraturan Bersama itu menyebutkan, penyedia menara adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Swasta yang memiliki dan mengelola menara telekomunikasi untuk digunakan bersama oleh penyelenggara komunikasi. “Pihak penyedia menara akan mau berinvestasi kalau Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai memastikan membangun infrastruktur jalan untuk askses transportasi ke lokasi pembangunan menara dan memastikan ketersediaan energi listrik,” Romy menjelaskan.
                Sebagai operator seluler terbesar di Indonesia, sejak berdiri hingga saat ini, Telkomsel terus konsisten dan menjaga komitmen pembangunan jaringan telekomunikasi dari kota hingga ke daerah pelosok, pulau terdepan dan perbatasan. Buktinya, jumlah BTS Telkomsel adalah yang terbanyak di Tanah Air, yaitu lebih dari 146.000 BTS yang mampu menjangkau hingga 95 persen populasi. Dari total jumlah BTS yang dimiliki Telkomsel, sebanyak lebih 50 persen di antaranya merupakan BTS broadband (pita lebar) berbasis 4G dan 3G, yang dapat melayani kebutuhan layanan data berkualitas bagi para pelanggan. Saat ini jumlah pelanggan data Telkomsel mencapai 74 juta atau sekitar 50 persen total pelanggan yang 152 juta.
                Dan khusus untuk Mentawai, dengan infrastruktur jaringan telekomunikasi yang ada, baru bisa melayani telepon dan pesan singkat (SMS). Kecuali di Ibukota kabupaten, tersedia jaringan internet walau terbatas.
                Secara nasional, menurut data per 16 Agustus 2017, Telkomsel telah membangun lebih dari 120 BTS baru di daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, sehingga secara total kini 753 BTS telah beroperasi melayani berbagai wilayah perbatasan di Indonesia. Dari seluruh BTS di wilayah perbatasan negara, 240 BTS di antaranya hadir di lokasi-lokasi yang sebelumnya tidak tersentuh akses telekomunikasi. Di beberapa titik perbatasan, Telkomsel bekerjasama dengan pemerintah membangun untuk memajukan masyarakat di wilayah tersebut.
                Menurut Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah, berkomunikasi dan saling terhubung merupakan hak seluruh masyarakat Indonesia, tanpa kecuali. Sudah menjadi tanggung jawab Telkomsel untuk mempersatukan negeri secara berkesinambungan dan membuka akses layanan telekomunikasi di seluruh wilayah Indonesia, termasuk wilayah perbatasan Indonesia. “Penggelaran jaringan telekomunikasi yang menjangkau setiap jengkal wilayah Tanah Air ini kami lakukan untuk memerdekakan seluruh rakyat Indonesia dari keterisolasian komunikasi,” tandasnya.
Ririek Adriansyah juga memaparkan bahwa kini layanan 4G LTE Telkomsel telah hadir dan dapat dirasakan oleh masyarakat seluruh Ibu Kota Kabupaten (IKK) Telkomsel Area Sumatera yang berjumlah sebanyak 154 IKK. Hadirnya layanan 4G LTE akan mendukung perkembangan wilayah ini, sehingga sejajar dengan kota besar lainnya, di mana salah satu indikatornya adalah penerapan teknologi terkini. Saat ini Telkomsel telah melayani lebih dari 48 juta pelanggan di Area Sumatera, di mana 23 juta di antaranya merupakan pengguna layanan data. Dari jumlah tersebut. Sekira 4,5 juta pelanggan sudah menggunakan layanan 4G LTE.

Listrik tenaga surya di Pelabuhan Sikakap, Kepulauan Mentawai, menyala saat terjadi Gerhana Matahari Total, Maret 2016. (Foto Yurnaldi)

Solusi bagi Mentawai
                Sebagai salah satu beranda depan Indonesia di kawasan Samudera Hindia, dan tujuan wisatawan dunia dengan jumlah kunjungan  10.000 wisatawan setahun, wajah Kepulauan Mentawai seharusnya mencerminkan kondisi yang aman dan sejahtera. Daerah yang otonom sejak 4 Oktober 1999, berdasarkan UU RI Nomor 49 Tahun 1999 itu, sampai sekarang, seperti yang saya paparkan di atas, masih terkendala dalam hal komunikasi. Infrastruktur jaringan telekomunikasi masih sangat terbatas.
                Salah satu solusi yang saya tawarkan adalah, jika Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai yang kini dipimpin Bupati Judas Sabaggalet ini ingan daerahnya lebih maju, masyarakatnya lebih sejahtera, maka harus memberikan jaminan ketersediaan energi listrik dan akses transportasi . Jika dua hal itu sudah dijamin, maka investor akan datang, termasuk investor untuk membangun menara jaringan komunikasi. Selama jaminan itu tidak ada, maka sulit memberikan layanan telekomunikasi yang optimal. Minimal di Kepulauan Mentawai harus ada 14 BTS. Artinya, perlu ada investasi lagi untuk pembangunan 7 menara telekomunikasi tambahan.
                Jika Mentawai ingin lebih maju, maka broadband yang berbasis 4G dan 3G memegang peranan penting dalam berkontribusi pada aktivitas masyarakat secara individual dalam memperkuat dan menjaga keberlangsungan pengembangan sosial dan ekonomi, termasuk transformasi politikj dan institusional. Juga pengembangan pengetahuan masyarakat terhadap empat pilar dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu kebebasan dalam berekspresi, pendidikan yang berkualitas, akses terhadap informasi dan pengetahaun, serta penghormatan dan pengembangan budaya dan keberagaman linguistik. Bahkan Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) mencatat ada hungan signifikans antara ekonomi dan broadband serta peranannya sebagai bagian integral dari ekonomi yang kian meningkat.

    Warga Desa Sinaka, Kepulauan Mentawai, memproduksi tembikar sebagai sumber ekonomi     keluarga. (Foto Yurnaldi)

                Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai mestinya menyadari betapa dengan perkembangan teknologi dan pita lebar yang meningkat, peran broadband sebagai enabler perubahan struktur ekonomi kian meluas dan memberi dampak peningkatan sejumlah aktivitas dan sektor. Broadband memfasilitasi pegembangan temuan-temuan baru, bisnis model baru, produk dan jasa baru, serta pengembangannya, dan meningkatkan kompetisi dan fleksibilitas ekonomi. Broadband telah menjadi bagian penting bahkan hampir dalam tiap aspek ekonomi berbasis pengetahuan, khususnya pada aktivitas yang menggantungkan pada provisi data dan informasi. Banyak aspek dalam produksi, distribusi, konsumsi, koordinasi, dan organisasi dilakukan melalui jaringan komunikasi broadband, karena kemampuannya meningkatkan efisiensi dan kesejahteraan yang lebih, serta berpotensi menciptakan lapangan kerja baru.
                Secara umum menurut OECD,   juga mengubah peran individu dalam produksi, memfasilitasi inovasi dan pengembangan konten berbasis pengguna, yang saat ini juga sudah mewabah seperti ramainya pemanfaatan jejaring sosial seperti facebook maupun maraknya blog-blog pribadi.
 Broadband memberikan kesempatan pada usaha kecil dan menengah untuk bekerjasama dan bahkan berkompetisi dengan perusahaan besar dalam pasar yang luas, yang mungkin sebelumnya tidak dapat terakses. Kompetisi tersebut memungkinkan komparasi harga jadi kian murah, meningkatkan kualitas produk, serta kustomisasi barang dan jasa.

Listrik Tenaga Gelombang
                Jika selama ini kebutuhan energi listrik di kepulauan Mentawai  bersumber dari 7 unit Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan listrik tenaga surya khusus di Pelabuhan Sikakap, maka ke depan untuk menunjang keberadaan infrastruktur jaringan komunikasi perlu dikembangkan pembangkit listrik tenaga gelombang laut (PLTGL).
                Penemu dan pemilik paten PLTGL yang putra Sumatera Barat, Zamrisyaf, dalam suatu diskusi dengan penulis mengatakan, Mentawai sebagai kepulauan yang dikelilingi laut dengan 23 jenis jenis gelombang berstandar internasional untuk kegiatan berselancar, sangat cocok membangun PLTGL.
“Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang Laut jauh lebih efisien dan lebih murah dibandingkan PLTD yang berbahan baku solar. Harga solar di kepulauan Mentawai jauh lebih mahal dibandingkan harga solar di Padang. BBM solar pun acapkali terputus pengadaannya, tak selalu ada. Karena faktor cuaca dan gelombang besar karena badai, pengadaan BBM sering terganggu/terputus. Dan untuk lebih murah, gelombang laut Mentawai bisa dimanfaatkan untuk pembangkit tenaga listrik,” ujar Zamrisyaf.

Prototype alat pengubah energi gelombang menjadi energi listrik karya Zamrisyaf. 
(Foto Yurnaldi)

Menurut Zamrisyaf, potensi energi listrik gelombang laut adalah sebesar 5-15 MW per kilometer panjang pantai. Jadi untuk Mentawai, kebutuhan energi listrik sebaiknya dari gelombang laut, karena potensinya sangat besar.
Ketika keberadaan energi listrik tersedia melalui PLTGL di Kepulauan Mentawai, maka investor mendapat jaminan untuk berinvestasi, selain ketersediaan infrastruktur jalan untuk akses transportasi. Khusus untuk infrastruktur jalan, pemerintah pusat sedang membangun Trans Mentawai.
“Kini tinggal bagaimana Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai melobi ke Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dan Pemerintah Pusat agar menyediakan anggaran untuk pembangunan sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang Laut. Saya dengan hak paten teknologi energi listrik tenaga gelombang laut, siap membangun pengadaan energi listrik di Kepulauan Mentawai. Jika energi listrik sudah tersedia, maka investor akan berdatangan. Dan Mentawai sebagai daerah tujuan wisata dunia akan semakin maju pesat dan berdampak kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat. PLTGL bisa dikelola oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD),” jelas Zamrisyaf.





No comments

Powered by Blogger.