web counter Rusli Marzuki Saria, Puisinya Kental dengan Keminangkabauan - KabarMinang.com

Header Ads

PKK

Rusli Marzuki Saria, Puisinya Kental dengan Keminangkabauan




            PADANG, KabarMinang.com-Tidak banyak penyair yang dikaruniai umur panjang, apalagi mencapai usia 81 tahun. Segaek itu, Rusli Marzuki Saria (RMS), suatu siang masih sempat bertandang ke rumah saya. Beliau ditemani penyair Sastri Bakry, penyair Indonesia yang meraih Anugerah Perempuan Penyair Dunia Nusantara Melayu Raya (Numera) di Malaysia. Seperti biasa, penyair modern Indonesia yang sampai kini terus berkarya itu, tetap segar bugar dan ceria. Jika dalam keseharian, dan acara apapun selalu berkaos dan bercelana jean sebagai ciri khasnya, saat bertandang  itu RMS berkemeja. Rapi benar kelihatannya.


 Rusli Marzuki Saria diapit penyair Sastri Bakri dan pendongeng Ayyubie Cantika Yurnada, mahasiswi FIB Universitas Indonesia.(Foto Yurnaldi)

            Tahun lalu, usia 80 tahun Papa RMS, 26 Februari 2016, ditandai dengan peluncuran buku kumpulan puisi bersama Zaidin Bakry, Leon Agusta, dan Chairul Tanjung berjudul  Monumen Safari. Dan ulang tahun ke-81, 26 Februari 2017, belum ada kegiatan sastra yang menandai itu. Mungkin ke depan ada kampus atau pegiat sastra yang bikin acara diskusi sastra, bagaimana proses kreatif RMS, yang Juni 2014 silam meluncurkan buku kumpulan puisi dua bahasa One by One Line by Line (penerbit Kabarita, Padang, Mei 2014).
            RMS mendapat julukan Papa dan atau dipanggil mesra Papa oleh kalangan penyair, karena sejak menjabat sebagai redaktur budaya dan puisi di harian Haluan yang terbit di Padang sejak tahun 1969, telah memungkinkan tumbuh-berkembangnya dunia kepenyairan di Sumatera Barat khususnya dan Indonesia umumnya. RMS memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada penyair untuk berkarya. Pernah beberapa kali di tahun 1980-1990-an, satu halaman koran Haluan   memuat puisi-puisi karya penyair-penyair Indonesia. Sesuatu yang belum pernah dilakukan koran-koran lain di Indonesia masa itu.
            Dan penyair-penyair muda, hampir selalu mendapat pembinaan yang intens dari seorang RMS. Walau beda usianya cukup jauh, RMS yang menulis puisi sejak 1955 dan dimuat di majalah Indonesia, Konfrontasi, Panji Masyarakat, Budaya Jaya, Mimbar, Basis, dan Horison serta suratkabar Indonesia Raya, Sinar Harapan, Pelita, Suara Pembaharuan dan banyak suratkabar lainnya, tak membuat jarak dengan yang muda-muda, yang sudah dianggap seperti anaknya. RMS yang pernah menerima hadiah Sastra 1997 dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dengan kumpulan puisi Sembilu Darah (terbitan Dewan Kesenian Sumatera Barat dan Pustaka Sastra, Jakarta, 1995) tak pelit berbagi pengalaman dalam dunia kepenyairan di Indonesia.
            “Seorang penyair harus seperti gunung api yang sedang menghamilkan magma di perutnya. Yang sewaktu-waktu akan meledak. Finally burst over, like a volcano, and wrote the series in too short time. Rilke dan Pasternak, seperti dua puncak gunung yang berbeda. Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pasternak penuh dengan irama dan metrum, sintaksis dan kata-kata. Sedangkan Rilke lebih obyektif dan clear-cut dan mempunyai the poets personal feelings about the women,” kata RMS yang pernah mengunjungi Malaysia, Bangkok, Singapura, Australia, dan Jerman Barat.
            Sampai sekarang, RMS masih sering diundang ke sekolah-sekolah untuk berbagi tentang proses kreatifnya dan dunia kepenyairan di Indonesia, di samping menjadi juri lomba cipta puisi.
            Menurut sastrawan dan budayawan Leon Agusta, dalam suatu diskusi sebelum dia berpulang, RMS adalah seorang penyair yang bernapas panjang. Bertahan dalam beberapa dekade. “Kepenyairan, ternyata, dalam arti sesungguhnya adalah marathon selama nyawa di badan. Papa, bertahan menghadapi seleksi sang waktu; selama itu pula ia menetap di Padang, kota kecintaannya”.
            Puisinya berjudul Padang Kotaku berikut mengesankan kepribadiannya yang tak suka menjerit. Ia lebih memilih berkata-kata dengan nada datar, berguman, atau berbisik saja.
…/Padang kotaku. Nanti takkan lagi terisak/dari perjalanan jauh yang lama/…/bila aku tiada lagi nanti Padang kotaku, jangan bersedih/bagai mentari tenggelam di balik lautmu//1975.
           
Konvensional dan Keminangkabauan
            Mencermati puisi-puisi karya RMS, kita seperti berhadapan dengan puisi yang masih mempertimbangkan bentuk-bentuk konvensional, seperti bentuk pantun. Dalam sebuah puisi tak berjudul, RMS menulis: …//ilalang mersik tengah padang lengang/dedaunan tua gugur berisik berbisik/ di tujuh puncak bukit tualang terkenang/danaumu biru airnya biru kutatap asyik//1966.    
            Ada juga bentuk modifikasi pantun seperti puisi berjudul Engkau Tahu Bukan? //pilin saringkan tali hati dukanya malam ini/kita punya bedil impian menyenak dalam rabu/nafas maling diburu mata pengawal bercandu/engkau berpaling sayangku, berpaling ke kiri//1965.
            Sebagai penyair yang lahir dan berkarya di ranah Minangkabau, puisi-puisi RMS banyak juga menggunakan bahasa Minang. Bahkan, tak hanya sebatas kata, tetapi kata-kata mempunyai makna kultural, seperti puput batang padi, palanta, rumah gedang, lunau, dan perawas. Juga ungkapan-ungkapan yang mengasosiasikan Minangkabau dan menyiratkan sejarah sosial masyarakatnya, seperti  antara lain bawa cewang di langit, tentukan jantan betinya di laut, tangan besi laras Simawang, di rumah berguna belum buyung.           
 Rusli Marzuki Saria (Foto Yurnaldi)

            Tema-tema keminangkabau lebih menonjol dalam karya-karya RMS. Dalam puisi Gelembung-gelembung Kecil RMS dengan sinis menulis: //di tanah resah di bumi basah/tanah dipupuk keringat nenekmoyang/tersandung hatiku bagai gonjong rumah/wahai, kami cucu petani berdada bidang//ketika padi dan isi hati kami/diintai dubalang kepala negari/telah kami serahkan nyawa dan kerja/zaman kompeni: tanam kopi paksa dan rodi/zaman Jepang: kerja paksa Logas dan pelabuhan//waktu proklamasi kami berdatangan jadi://BKR, TKR, TRI dan TNI/kerja belum selesai, desa memanggil/kami berdatangan dengan kerja dan harapan.// 1965.
            Contoh lain pada puisi Warga Rumah Gedang. Gaya penceritaan RMS juga dengan sinis: / Sebab tanah member hidup pada kita/Tapi juga jisa jadi sengketa/Seperti tanah sepadan di Minang/Orang lagi berbunuhan dan bersitegang// 1962.
            Ada juga gaya penceritaan yang melankolis seperti pada puisi Ada Ratap Ada Nyanyi. /Di kedai-kedai kopi tua/Sepanjang jalanan kecil desa/Ada ratap ada nyanyi// Di kedai-kedai kopi tua/Sepanjang jalanan kecil desa/Ada ratap ada salung// 1962.
            Dalam sebagian besar karya-karyanya, RMS dengan ungkapan-ungkapan keminangkabau itu memberi kesan sangat kuat bahwa ia bukan hanya dipengaruhi oleh budaya Minangkabau, tetapi ia dilahirkan oleh/dalam budaya Minangkabau. Dengan ini ia menghadirkan otentisitas kepenyairannya. Kekuatan puisi-puisi RMS terletak pada bentuk yang konvensional dan penggunaan ungkapan-ungkapan keminangkabauan itu.
            Dalam pengantar buku  kumpulan puisi dua bahasa One by One Line by Line Rusli Marzuki Saria, penyair seangkatannya Leon Agusta menegaskan, RMS menyikapi warisan budaya dan ajaran peradaban Minangkabau dengan sikap yang khas seorang penyair yang berupaya menggali ungkapan dari kehidupan dan mengungkapkan maknanya dalam selubung kata-kata:
 “Aku tidak ingin hanya sekedar menghafal pepatah-petitih, hidup sopan-santun dalam tatanan yang harus begini, yang harus begitu. Aku ingin belajar menerjemahkan cewang di langit, kail yang dibentuk dan bahasa yang disampaikan dalam nyanyian salung. Aku memerlukan miang kata-kata itu,” tulis RMS dalam Mitos Mengejar-ngejar Seorang Penyair untuk Kreatif, harian Haluan edisi 27 November 1984.(YURNALDI)   

No comments

Powered by Blogger.