Tingkatkan Budaya Baca, Kemampuan Menulis, dan Apresiasi Sastra
AIA ANGEK –
Guru harus terus menerus meningkatkan budaya baca buku, kemampuan menulis dan
apresiasi sastra siswa. Karena dengan membaca, menulis, dan mengapresiasi karya
sastra, karakter anak didik bisa dibentuk. Anak didik selain bisa mengembangkan
potensi diri, menyalurkan minat dan bakat, juga terbiasa meningkatkan kepekaan,
rasa persatuan, kesatuan, dan cinta tanah air serta memupuk rasa saling
menghargai keanekaragaman budaya bangsa.
Demikian
benang merah yang mengemuka dalam dialog sastrawan terkemuka Taufiq Ismail
dengan guru-guru bahasa dan sastra Indonesia Kabupaten Pesisir Selatan, Selasa,
23 Mei 2017 di Rumah Puisi, Nagari Aia Angek, km 6 Jalan Raya Padangpanjang-Bukittinggi,
Kabupaten Tanahdatar. Sekitar 15 guru bahasa dan sastra Indonesia yang antusias
dan bangga bisa berdialog dengan pemilik Rumah Puisi itu, didampingi Pengawas
Sekolah dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat, Mulyadi
Wijaya.
Mulyadi Wijaya dan Sasrawan Taufiq Ismail
Taufiq
Ismail menegaskan, kondisi minat baca
bangsa Indonesia cukup memprihatinkan. Berdasarkan studi Most Littered Nation
in the World yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada
Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara
soal minat baca. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas
Botswana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastruktur untuk mendukung
membaca peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa. Indonesia
berada di urutan 34 di atas Jerman, Portugal, Selandia Baru, dan Korea Selatan.
Indikator
sukses tumbuhnya minat baca tak selalu dilihat dari berapa banyak perpustakaan,
buku, dan mobil perpustakaan keliling. Agar membaca bisa menjadi budaya perlu
beberapa tahapan. Pertama mengajarkan anak membaca buku, lalu membiasakan anak
membaca hingga menjadi karakter, setelah itu barulah menjadi budaya. Jadi
budaya membaca itu hadir karena ada kebiasaan membaca. Kebiasaan membaca ada
jika ada rencana membaca secara rutin dan rutinitas dalam baca itu penting
sekali.
Taufiq
Ismail sejak belasan tahun lalu sudah mengemukakan, beratus -ribu tamatan SMA Indonesia sejak
pengakuan kedaulatan 1950 sampai sekarang menjadi Generasi Nol Buku, yang rabun
membaca dan lumpuh menulis. Nol Buku karena tidak mendapat tugas membaca
melalui perpustakaan sekolah, sehingga rabun membaca. Lumpuh menulis karena
hampir tak ada latihan mengarang di sekolah.
“Antara
Juli-Oktober 1997 saya melakukan serangkaian wawancara dengan tamatan SMA 13
negara. Saya bertanya tentang 1) kewajiban membaca buku, 2) tersedianya buku
wajib di perpustakaan sekolah, 3) bimbingan menulis dan 4) pengajaran sastra di
tempat mereka,” ungkapnya.
Berikut ini
tabel jumlah buku sastra yang wajib dibaca selama di SMA bersangkutan (3 atau 4
tahun), yang tercantum di kurikulum, disediakan di perpustakaan sekolah, dibaca
tamat lalu siswa menulis mengenainya, dan diuji:
Buku Sastra Wajib di SMA 13 Negara
Tabel 1
1 SMA
Thailand
Selatan 5
judul Narathiwat 1986-1991
2 SMA
Malaysia 6
judul Kuala
Kangsar 1976-1980
3 SMA
Singapura 6
judul Stamford
College 1982-1983
4 SMA
Brunei Darussalam 7
judul SM
Melayu
I 1966-1969
5 SMA
Rusia Sovyet 12
judul Uva 1980-an
6 SMA
Kanada 13
judul Canterbury 1992-1994
7 SMA
Jepang 15
judul Urawa 1969-1972
8 SMA
Internasional, Swiss 15
judul Jenewa 1991-1994
9 SMA
Jerman
Barat 22
judul Wanne-Eickel 1966-1975
10 SMA
Perancis 30
judul Pontoise 1967-1970
11 SMA
Belanda 30
judul Middleburg 1970-1973
12 SMA
Amerika
Serikat 32
judul Forest
Hills 1987-1989
13 AMS
Hindia
Belanda-A 25
judul Yogyakarta 1939-1942
AMS
Hindia Belanda-B 15
judul Malang 1929-1932
SMA
Indonesia 0
judul Di
Mana Saja 1943-2008
Catatan: Angka
di atas hanya berlaku untuk SMA responden (bukan nasional), dan pada
tahun-tahun dia bersekolah di situ (bukan permanen). Tapi sebagai pemotretan
sesaat, angka perbandingan di atas cukup layak untuk direnungkan bersama.
Apabila buku sastra 1) tak disebut di kurikulum, 2) dibaca cuma ringkasannya,
3) siswa tak menulis mengenainya, 4) tidak ada di perpustakaan sekolah, dan 5)
tidak diujikan, dianggap nol. Angka nol buku untuk SMA Indonesia sudah berlaku 72
tahun lamanya, dengan kekecualian luarbiasa sedikit pada beberapa SMA tertentu
saja.
Bila siswa AMS
Hindia Belanda wajib membaca buku 25 judul dalam masa 3 tahun, bagaimanakah
wajib menulis mereka? Siswa AMS wajib menulis 1 karangan seminggu. Karangan
disetor, diperiksa guru, diberi angka, minggu depannya satu karangan lagi,
minggu depannya satu karangan lagi. Panjang karangan satu
halaman. Jumlahnya 18 karangan satu semester, 36 karangan setahun, 108
karangan 3 tahun.
Menurut
observasi sastrawan Taufiq Ismail, pada
beberapa SMA, kewajiban mengarang berlangsung 3-5 kali setahun. Banyak SMA yang
cuma sekali setahun, mirip sholat Idulfitri. Jadi dalam 3 tahun paling banyak
15 karangan. Dibanding dengan AMS, jatuhnya serendah 5,2 %.
Pentingnya
Membaca dan Menulis
Taufiq Ismail
menjelaskan, kewajiban membaca dan menulis itu tidak bertujuan menjadikan siswa
sastrawan. Tidak. Kemampuan membaca dan menulis diperlukan di setiap profesi.
Membaca buku sastra mengasah dan menumbuhkan budaya baca buku secara umum.
Latihan menulis mempersiapkan orang mampu menulis di bidangnya masing-masing.
Guru Bahasa dan Sastra Indonesia Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, senang dan bangga bisa berdialog dengan Sastrawan Taufiq Ismail.
Seorang Anak
Baru Gede dari Padang pada tahun 1919 masuk sekolah SMA dagang menengah Prins
Hendrik School di Batavia. Wajib baca buku sastra menyebabkannya ketagihan
membaca, tapi dia lebih suka ekonomi. Dia melangkah ke samping, lalu jadi ekonom
dan ahli koperasi. Namanya Hatta. Seorang siswa yang sebaya dia, di AMS
Surabaya, juga adiksi buku. Kasur, kursi dan lantai kamarnya ditebari buku.
Tapi dia lebih suka ilmu politik, sosial dan nasionalisme. Insinyur teknik ini
melangkah ke samping dan jadi politikus. Namanya Soekarno.
Sastra
menanamkan rasa ketagihan membaca buku, yang berlangsung sampai siswa jadi
dewasa. Rosihan Anwar (alm) sampai akhir hayatnya tetap membaca 2 buku
seminggu. Buku apa saja. “Jiwa saya merasa dahaga kalau saya tak baca buku,”
kata beliau. Demikianlah rasa adiksi yang positif itu bertahan lebih dari
setengah abad, bahkan seumur hidup.
Latihan menulis
108 karangan membekali Hatta, Sukarno, Muhammad Natsir, Sjahrir, Haji Agus
Salim, Muhammad Yamin, Tan Malaka dan kawan-kawan seangkatan mereka menulis
buku di bidang masing-masing. Yamin jadi sastrawan, tapi juga penulis sejarah.
Tragedi Nol
Buku ini, yang sudah berlangsung 72 tahun lamanya, dengan mudah dapat
dijelaskan kini akibatnya. Tamatan SMA Nol Buku sejak 1950 (saya tak sempat
menghitung dengan teliti tapi pastilah meliputi beberapa juta orang), dengan
rentang umur antara 35 – 70 tahun, mereka inilah yang kini jadi warga Indonesia
terpelajar serta memegang posisi menentukan arah negara hari ini di seluruh
strata, pemerintah dan swasta. Beberapa sebab mendasar amburadulnya Indonesia
sekarang, mungkin sekali karena dalam fase pertumbuhan intelektual mereka,
orang-orang itu membaca nol buku di sekolah.
Mereka Generasi
Nol Buku. Kita Generasi Nol Buku. Generasi yang Rabun Membaca dan
Pincang Menulis. Kalau pun ada sebagian kecil dari kita yang banyak membaca dan
mampu menulis, pasti itu dilakukan dengan ikhtiar sendiri di luar ruang sekolah
(bukan dibimbing oleh sebuah sistem pendidikan nasional) atau karena beruntung
mendapat kesempatan belajar ke luar negeri.
Paradigma Baru
Mengajarjan Sastra
Untuk
meletakkan dasar yang kuat suatu program kegiatan mengatasi keterbelakangan
kita, maka tentulah lebih dahulu ditetapkan cara pandang, paradigma baru
sebagai acuan dalam membantu memperbaiki pengajaran membaca, mengarang dan apresiasi
sastra di SMA kita. Ko-insidensi sangat menguntungkan yang terjadi adalah
gelombang reformasi 1998, yang melepaskan Indonesia dari monolithisme politik
39 tahun Orde Lama dan Orde Baru, sehingga terbuka luaslah peluang bagi
paradigma ini, yang tidak akan mungkin terbuka di kedua Orde terdahulu
tersebut:
1. Siswa
dibimbing memasuki sastra secara asyik, nikmat dan gembira. Pendekatannya bukan
pendekatan keilmuan seperti memahami fisika, dan juga bukan pendekatan
penghafalan seperti penghafalan tahun-tahun sejarah. Kita harus mampu membentuk
citra sastra di hati siswa sebagai sesuatu yang menyenangkan, yang membuat
mereka antusias, dan yang mereka rasa perlukan.
Guru yang berkarya menyubangkan buku karyanya untuk Rumah Puisi Taufiq Ismail.
2. Siswa
membaca langsung karya sastra puisi, cerita pendek, novel, drama dan esai,
bukan melalui ringkasan. Karena itu, buku-buku yang disebut dalam kurikulum,
mesti tersedia di perpustakaan sekolah.
3. Kelas
mengarang harus diselenggarakan secara menyenangkan, sehingga tidak terasa jadi
beban, baik bagi siswa, maupun untuk guru. Mengarang mesti dirasakan sebagai
ekspresi diri yang melegakan perasaan. Kiat atau metodanya harus ditemukan, dan
itu sudah ditemukan, serta dipraktekkan 3 tahun dalam pelatihan MMAS. Cara kuno
memberi judul klise seperti “Cita-citaku” atau “Pengalaman Berlibur di Rumah
Nenek” mesti diganti dengan imajinasi yang kaya, yang sesuai dengan fantasi
siswa. Mengarang bukan cuma menulis laporan, tapi menggugah imajinasi dan
menuntun siswa berfikir.
4. Ketika
membicarakan karya sastra, aneka-ragam tafsir harus dihargai. Tidak ada tafsir
tunggal terhadap karya sastra. Guru harus terbuka terhadap pendapat siswa yang
berbeda, sepanjang pendapat itu dikemukakan dalam disiplin berfikir yang logis.
Dalam hal ini kelas sastra adalah kelas pendidikan demokrasi, ketika antara
umur 16-19 tahun siswa mulai diperkenalkan kepada perbedaan pendapat dan
belajar menghargai pendapat yang lain itu. Ebtanas dengan soal pilihan ganda
untuk tafsir karya sastra adalah kekeliruan yang harus diperbaiki.
5. Pengetahuan
tentang sastra (teori, definisi, sejarah) tidak utama dalam pengajaran sastra
di SMU, cukup tersambil saja sebagai informasi sekunder ketika membicarakan
karya sastra. Siswa jangan terus-terusan dibebani dengan hafalan teori dan
definisi. Tatabahasa tidak lagi diberikan secara teoretis, tapi dicek
penggunaannya dalam karangan siswa.
6. Pengajaran
sastra mestilah menyemaikan nilai-nilai yang positif pada batin siswa, yang
membekalinya menghadapi kenyataan kehidupan masa kini yang keras di masyarakat.
Keimanan, kejujuran, ketertiban, pengorbanan, demokrasi, tanggung-jawab,
pengendalian diri, kebersamaan, penghargaan pada nyawa manusia, optimisme,
kerja keras, keberanian mengubah nasib --- adalah antara lain nilai-nilai luhur
yang hancur di masa kini, terutama dalam 5 tahun terakhir ini. Karena itu,
karya sastra yang relevan dengan nilai-nilai itulah yang harus kita pilih untuk
disajikan kepada siswa, dan didiskusikan di kelas. Kemudian akan tumbuh
kearifan siswa kepada manusia dan kehidupan, terasah sensitivitas estetiknya,
dan terpupuk empatinya pada duka-derita nasib orang-orang yang malang.
Rangkaian cara
pandang segar atau paradigma anyar ini, baru akan benar-benar tercapai
maksudnya apabila ditunjang oleh kurikulum yang sejalan dan serasi dengan
paradigma ini.
Guru Bahasa dan Sastra Indonesia Pesisir Selatan peroleh kesempatan berharga berkunjung ke Rumah Puisi di Nagari Aia Angek, Kabupaten Tanahdatar, Sumatera Barat.
Mulyadi Wijaya Pengawas Sekolah dari Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat mengatakan, kesempatan berdialog dengan
Sastrawan Taufiq Ismail adalah sesuatu yang sangat berharga sekali. “Kita dorong guru bahasa dan sastra Indonesia
di seluruh kabupaten/kota di Sumatera barat untuk mengagendakan berkunjung ke
Rumah Puisi dan berdialog dengan Taufiq Ismail,” ujarnya. “Bahkan, Pak Taufiq
Ismail bersedia ‘diculik’ waktunya untuk bisa memotivasi anak didik di
sekolah-sekolah atau anak didik yang mendatangi Pak Taufiq Ismail ke Rumah
Puisi.”
Menurut Mulyadi Wijaya, dari dialog dengan Taufiq
Ismail, terlihat benar betapa pendidikan karakter melalui pembelajaran bahasa
dan sastra Indonesia penting sekali. Karena itu, guru bahasa dan sastra
Indonesia harus terus menerus memotivasi siswa untuk gemar membaca dan menulis.
Untuk itu, kolaborasi guru dengan sastrawan dalam bentuk mengajak dan
menghadirkan sastrawan ke sekolah dan dalam kegiatan Musyawarah Guru Mata
Pelajaran (MGMP).
“Pak Taufiq Ismail juga berharap sekolah-sekolah
menghidupkan kembali sanggar sastra dan kegiatan pelatihan guru menulis seperti
MMS (membaca dan menulis sastra) ditindaklanjuti,” jelas Mulyadi Wijaya, yang
juga sarjana dan magister bidang bahasa dan sastra Indonesia. (yurnaldi).
No comments